Menurut mereka pencerahan dasarnya bukan dari filosofi atau keagamaan
tapi melalui teknik-teknik tertentu yang bisa mengontrol atau menyelaraskan
antara pikiran kita dan tubuh kita. Inilah fungsinya meditasi. Maka dari itu, pernafasan
menjadi suatu teknik yang sangat penting. Meditasi itu memfokuskan pikiran kita
dan badan kita. Dengan mencoba menyatukan badan dan pikiran kita merupakan cara
untuk mendapatkan ketenangan spiritual ini adalah hal-hal yang disebut Zen dan
memiliki dampak terhadap bagaimana cara mereka melihat keindahan. Jadi kalau
estetika barat lebih mementingkan nalar, mendapatkan kebenaran, menurut Zen
keindahan atau pencerahan bukan dapat dari logika, bukan dari mikir, tapi
justru dengan menyatukan pikiran dan badan. Makanya ada kegiatan-kegiatan
tertentu yang bisa menyatukannya.
Disini yang penting adalah konsep Wabi-Sabi. Konsep estetika Jepang yang berpusat pada penerimaan akan ketidak kekalan dan ketidak sempurnaan sebagai sifat kehidupan. Maksudnya bahwa hidup itu tidak kekal, selalu berubah dan harus diterima. Dalam paham ini, keindahan sering dianggap berisfat “tidak sempurna, tidak kekal, dan tidak komplit”. Konsep Wabi-Sabi ini berkembang dari ajaran Zen Buddhisme, mengenal 3 ciri khas kehidupan, yaitu ketidak kekalan, penderitaan dan keksongan atau kehampaan atas diri kita yang sejatinya. Contoh upacara minum teh dalam kebudayaan Jepang (CHA-NO-YU)
Disini yang penting adalah konsep Wabi-Sabi. Konsep estetika Jepang yang berpusat pada penerimaan akan ketidak kekalan dan ketidak sempurnaan sebagai sifat kehidupan. Maksudnya bahwa hidup itu tidak kekal, selalu berubah dan harus diterima. Dalam paham ini, keindahan sering dianggap berisfat “tidak sempurna, tidak kekal, dan tidak komplit”. Konsep Wabi-Sabi ini berkembang dari ajaran Zen Buddhisme, mengenal 3 ciri khas kehidupan, yaitu ketidak kekalan, penderitaan dan keksongan atau kehampaan atas diri kita yang sejatinya. Contoh upacara minum teh dalam kebudayaan Jepang (CHA-NO-YU)
Toyobo teahouse di kuil kenninji, Kyoto. Dikatakan dibangun tahun 1587
oleh Rikyu.
Rumah teh Jepang dibuat seakan-akan desain domestic, bentuknya
mengikuti fungsinya, kecil karena emang di desain untuk didatengin 5-6 orang
untuk minum the bersama. Jadi sisi lain dibuat sederhana adalah tujuan minum
the untuk mencari kepuasan spiritual yang dalam melalui minum the secara tenang
bersama-sama. Suasana yang khusyuk itu diharapkan bisa mengundang suasana damai
di dalam hati pengunjungnya. Upacara minum teh Cina ini digabungkan dengan
filsafat Zen Jepang. Salah satu biksu Zen menjadi master teh yaitu Murata Shuko,
ia menerapkan paham tertentu pada tradisi minum teh hingga sekarang (abad 15,
1422-1592). Murata menerapkan paham-paham tertentu pada minum teh agar
suasananya lebih intim dan lebih personal. Ia justru bilang bahwa ruang yang
kecil ini cukup dan juga pengunjungnya tidak perlu banyak, sekitar 5 atau 6
orang lalu selain itu juga agar suasana itu intim, tidak boleh ada pelayan, tuan
rumah harus menyiapkan ritual minum teh ini sendiri sebagai bentuk penghormatan
ke tamu. Mulai dari menyediakan air panas, pochi tehnya, hingga
cangkir-cangkirnya terus daun tehnya harus disajikan sendiri oleh si tuan rumah
sebagai bentuk penghormatan.
Rikyu dari abad 16 juga berpengaruh pada tradisi minum teh. Untuk mereka, tradisi minum the merupakan
sebuah upacara, upacara sifatnya formal tapi Rikyu ingin menghasilkan suasana
yang informal.
3 Prinsip kuncinya adalah kesederhanaan, ketenangan dan kealamiahan.
1.
Kesederhanaan : Penerapan secara minimal dan sewajarnya.
Tidak diperlukan lebih dari ini melainkan hasil pengalaman estetis yang
mendalam.
2. Ketenangan :
Maksudnya merasa tersentuh dari dalam nurani dengan rasa tentram dan bukan rasa
yang meluap-luap atau heboh.
3. Kealamiahan :
maksudnya menghindari sesuatu yang dibuat-buat atau dirancang menurut rencana.
Seorang seniman berusaha untuk membuat karyanya untuk terlihat seakan telah
selamanya menjadi bagian dari alam, seakan-akan tanpa adanya intervensi
manusia. Karyanya (apakah sebuah taman, sebuah jalan setapak atau sebuah pagar)
seakan hasil dari kecelakaan alamiah.
Dari Wabi terdapat 2 prinsip kunci : ketidak begantungan dan kedalaman
halusan
1.
Ketidak bergantungan : aspek yang memberikan sebuah karya
rasa yang segar dan orisinil. Karyanya terlihat familiar tapi tidak bergantung
pada hal apapun.
2. Kedalam halusan :
Karya tersebut memiliki gaung dalam diri kita dan pada dirinya sendiri, dengan
nuansa dan kemungkinan yang berlapis-lapis, di satu sisi terselubung namun juga
terasa dengan jelas.
Dari Sabi terdapat 2 prinsip kunci : Sublimitas dan asimetri
1.
Asimetri : menolak simetri pada bentuk dan keseimbangan
demi mematuhi alam. Ini bertolak belakang dengan estetika barat yang pada
tradisinya memenuhi hukum simetri, seperti terlihat pada karya visual, sastra
dan music.
2. Sublimitas :
mencari inti sari yang paling esensial dari karya dan konteksnya. Yang tidak
esensial dianggap membebani pemirsa dan menggangu pengalaman estetis.
No comments:
Post a Comment