Theodor Adorno dan Max
Horkheimer merupakan 2 tokoh penting dari Mazhab Frankfurt dan mereka mempunyai
kritik terkenal terhadap apa yang mereka sebut sebagai “industry budaya”.
Mereka mengkritik dampak industrialisasi pada budaya terutama gejala yang
disebut dengan kebudayaan moral atau mess culture.
THEODOR ADORNO
(1903-1969)
Theodor Adorno merupakan
filsuf dan musikolog asal Jerman, ia merupakan tokoh dari Mazhab Frankfurt.
Terasingkan di AS dan Inggris pada masa PD II, karya terbesarnya adalah Dialectics dan Minima
Moralia.
MAX HORKHEIMER
(1895-1973)
Max Horkheimer merupakan
filsuf dan sosiolog asal Jerman serta tokoh dari Mazhab Frankfurt. Ia pernah
menjadi direktur di Institute for Social Research yang berpengaruh besar pada
arahan “Mazhab Frankfurt”. Karya terbesarnya adalah Dialectic of Enlightenment
dan The Authoritarian State.
Dibuku Dialectic of Enlightenment ini ada suatu bagian kritik terhadap
‘industri budaya’. (culture industry). Jadi secara garis besar Theodor Adorno
dan Max Horkheimer menganggap bahwa industry terutama industry industry mesin
itu telah menjadikan budaya sebagai semacam pabrik yang mencetak produk-produk
budaya. Sebelumnya budaya itu dianggap sebagai sesuatu yang terjadi secara
natural dan karena budaya itu, manusia berekspresi menciptakan karya seni, jadi
karya seni adalah ekspresi budaya mereka. Kata Adorno dan Horkheimer setelah
industrialisasi, budaya itu menjadi sebuah pabrik, pabrik yang mencetak
prodik-produk kebudayaannya seperti karya seni sehingga karya seni itu menjadi
kehilangan nilainya. Sekarang karya seni itu menjadi produk yang dicetak secara
masal. Contohnya film. Asal muasal film itu adalah kinestoskop yang dibuat oleh
Thomas Alfa Edison dengan membuat seluloit. Akhirnya fotografi berkembang
menjadi film, film itu merupakan citra bergerak, gambar yang bergerak cepat.
Dengan pita seluloit orang jadi bisa buat gambar itu seakan-akan bergerak.
Pemutaran
kinestoskop di Chiago, 1894
Jadi didalamnya ada pita
seluloitnya dan dari dalam gambarnya. Ini kinestoskop yang dibuat oleh Thomas
Alfa Edison. Tapi pada awalnya film hanya bisa ditonton sendirian, namun
akhirnya berkembang dan dibawa ke Amerika, Eropa sampailah ke Perancis diantara
banyaknya orang yang menonton di kinestoskop, diantaranya ada Lumiere
bersaudara. Lumiere brother’s, mereka menciptakan kalau tadi Edison menciptakan
pita seluloit dan alat pemasangnya kinestoskop, Lumiere brother’s
mengembangkannya lebih lanjut dengan alat yang menggabungkan kinestoskop dan
proyektor. Kalau tadi orang nonton kinestoskop sendiri-sendiri, dengan
kinestoskop yang digabungkan ke proyektor, orang bisa nonton bersama. Film
bergerak tadi bisa ditonton orang banyak dan sangat mempengaruhi perfileman
sehingga sekarang bisa muncul bioskop. Di periode ini, akhir awal abad 19 dan
awal abad 20 mulai dibuat film ekpiremental penting (film bisu komedi).
Jadi bentuk hiburan baru, sebelumnya
bentuk hiburan orang dengan pergi ke tempat ini seperti carnival. (The Jumping
horse, carry –us all) hiburan mural dan dengan proyektor, hiburan datangke
orang masal itu, bukan mereka yang datang kehiburan tapi hiburan yang datang ke
orang-orang itu dan ini menjadi alasan
kenapa film menjadi hiburan popular. Massa diawal abad 20an, di tahun 1900an
awal, film sudah menjadi visual yang paling popular daripada poster dan
fotografi. Mulai dari era film bisu oleh salah satu sutradara terkenal Prancis
yaitu George Meliye. Awalnya film bisu karena susah menghubungkan suara dan
efeknya. Maliye terkenal dengan film fantasinya juga yang judulnya perjalanan
ke bulan (Trip to the moon) dan ini pewarnaannya secara manual (th 1920an) dan
pitanya juga diwarnai sendiri. Pada zaman film bisu, kalaupun ada suara itu
biasanya live, ada bandnya atau narasi projek soundesnya. Lalu ekperimentasi
untuk menggabungkan antara film dan suara itu terus berkembang hingga pada
tahun 1927, Hollywood, sebuah studio di Hollywood namanya wonder brothers
meluncurkan film Jazz singer dan ini adalah film dengan suara pertama, Einstein
mengeluarkan kinestoskop sektiar 30 tahun sebelumnya. Jadi dalam 30 tahun
relative cepat, film sudah bergerak dari ekperimental menjadi indsutri.
Sebenarnya benih perindustrian film sudah muncul ketika para produsernya
melihat dari proyektor bisa mendapatkan untung, semakin banyak orang yang
datang untuk nonton, semakin banyak untung yang mereka dapat. Film juga sudah
menjadi sebuah industry bukan lagi sebagai karya seni yang menjadi ekspresi
jiwa seseorangdan itu di kritik oleh Adorno dan Horkheimer, bagi mereka film
sebagai hiburan popular adalah produk yang mereka sebut dengan industry.
Masalahnya dengan produk-produk seperti ini, bukan karya seni tapi produk mural
(sesuatu yang bernilai karena mempunyai harga), film-film popular seperti
majalah atau komik itu bermasalah karena sifatnya generic, tidak membuat orang
mendapatkan kenikmatan estetis, hanya membuat orang tergiur secara pasif
sedangkan menurut mereka, budaya itu seharusnya menciptakan seni atau fine art
yang mampu memberikan orang kenikmatan estetis. Jadi disini hal-hal seperti
music pop, komik bagi mereka yang seperti ini tidak masuk ke karya seni tapi
hanya dianggap sebagai produk budaya.
Point ke 2, Horkheimer
dipengaruhi oleh sebuah teori Karl Max, Karl Max adalah pencetus materialisme.
Karl Max memiliki suatu konsep yang disebut sebagai materialism historis ,
menurutnya masyarakat berkembang dengan memproduksi barang-barang yang mereka
wujudkan untuk kelangsungan hidupnya. Industri budaya menurut Adorno dan
Horkheimer itu berbahaya karena terus
mencetak dan memproduksi barang-barang seperti film atau komik seperti itu yang
dianggap orang mereka butuhkan padahal sebenarnya produk-produk industry budaya
itu tidak dibutuhkan oleh konsumennya karena hanya masih hiburan semu saja.
Celakanya, konsumen merasakan mereka membutuhkan. Sebenarnya tidak jauh dari
memberikan untung kepada pemilik modal.
Point ke 3, estetika
sebagai kritik sosial. Dari sini, estetik sudah tidak membicarakan keindahan,
kebenaran tapi Adorno dan Horkheimer mereka membicarakan kesenian, kebudayaan.
Mereka mengajukan sebuah kritik tentang keadaan sosial. Bagaimana seni sebagai
produk kebudayaan mempengaruhi orang banyak dan bagaimana masyarakat merespon
mereka. Disini sudah kelihatan bahwa estetika bisa dijadikan alat untuk mengkritik
keadaan sosial. Menurut mereka, seni itu seharusnya bernilai lebih bukan
sekedar untuk produk indsutri.
WALTER BENJAMIN
(1892-1940)
Walter Benjamin merupakan
sastrawan, kritikus sosial dan filsuf asal Jerman. Ia merupakan tokoh dari
Mazhab Frankfurt, anak dari keluarga Yahudi yang berada dan karya terbesarnya
adalah The Arcodes Project dan Illuminations. Tapi disini ada 1 essay Benjamin
yang penting, judulnya adalah karya seni dalam era reproduksi mesin. Benjamin
setuju dengan pendapat Adorno dan Horkheimer, ia juga beranggapan bahwa dulu
sebelum era indutrialisasi, sebelum era pabrik, seni itu bersifat murni, masih
memiliki kenikmatan-kenikmatan tertentu dan ini adalah dampak jeleknya era
reproduksi mesin seperti poster, foto, film. Ia mengatakan sebenarnya
reproduksi itu bukan suatu hal yang baru. Reproduksi itu sudah ada dari jaman
bahula. Tapi bedanya di zaman modern dengan adanya reproduksi oleh mesin,
sekarang reproduksi mesin dibuat dalam jumlah yang banyak dengan waktu yang
sangat cepat. Dari sini ia membedakan reproduksi mesin dengan reproduksi.
Reproduksi adalah apa yang kita sebut dengan otensitas dan aura sebuah
produksi. Jadi menurut Benjamin, karya yang original, yang asli memiliki
otensitas, otensitas dalam arti disini adalah keberadaan karya itu di lokasi
tertentu dan dititik sejarah tertentu. Contohnya Monalisa ketika dibuat oleh Da
Vinci, ia berada di lokasi tertentu, di Itali dan berada di titik sejarah
tertentu, Renaisans. Dan otensitas inilah yang tidak ada dimilki oleh gelas gambar
Monalisa ini. Inilah yang membedakan karya seni dan juga karya seni yang asli,
yang orisinil memiliki aura. Aura merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak,
tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan dan hanya dimiliki oleh karya seni
yang otentik. Menurut Benjamin, sebagus-bagusnya jiplakan yang dibuat mesin
tapi tetap saja kita tidak memiliki, tidak mendapatkan pengalaman yang sama
ketika kita melihat karya seni yang orisinil.
No comments:
Post a Comment